Ditemukan DNA sintetik dan kehidupan artifisial
Sekitar pertengahan 2010, J. Craig Venter dkk dari The J. Craig Venter Institute (JCVI) (Rockville dan San Diego, AS), telah berhasil menciptakan sebuah genome/DNA sintetis yang dapat mereplikasi diri ketika sudah ditransplantasikan ke dalam suatu tempurung sel bakteri yang sudah dikosongkan dari DNA alamiahnya yang ada sebelumnya. Usaha yang berujung pada penciptaan DNA buatan ini sudah dimulai sejak 1995 ketika JCVI mulai memetakan sekuen genetik dari genome Mycoplasma genitalium, sebuah bakteri dengan komplemen gen yang terkecil di antara organisme yang dikenal, yang dapat tumbuh secara independen dalam sebuah laboratorium.
Tim ilmuwan dari JCVI ini pertama-tama menciptakan suatu genome bakterial melalui sintesis senyawa kimiawi, yang percampurannya diatur oleh informasi sekuen genetik yang sudah dibuat sebagai file digital melalui sebuah komputer. Informasi genomik digital ini memberi instruksi genetik kepada campuran zat-zat kimiawi ini untuk bereaksi menghasilkan sebuah kehidupan, sungguh-sungguh suatu kehidupan buatan, yang berasal dari zat-zat kimiawi yang mati. Informasi digital genomik ini diperoleh dengan mengkopi informasi genetik yang terdapat dalam suatu genome alamiah yang sudah ada, dalam hal ini genome alamiah yang terdapat dalam Mycoplasma mycoides. Untuk mencirikan bahwa yang dihasilkan adalah genome sintetis, dan untuk membedakannya dari genome alamiah, genome sintetis Mycoplasma mycoides diberi “tanda-tanda” (watermarks) yang non-fungsional, yang tak berpengaruh, sehingga genome sintetis ini dapat dibedakan dari genome alamiah yang liar.
Sebagai langkah kedua, tim ini menggunakan sebuah teknik transfer nuklir yang sudah dikenal (yang dipakai dalam IVF) untuk mentransplantasi genome sintetis Mycoplasma mycoides ini ke dalam suatu bakteri alamiah Mycoplasma capricolum yang sudah dibersihkan dari DNA alamiah yang ada semula di dalam selnya. Ketika sudah ditransplantasi, genome Mycoplasma mycoides langsung membuat sel-sel bakterial penerimanya “bekerja” dan 14 genes dalam genome sintetis Mycoplasma mycoides lenyap. Di dalam sel yang sudah menerima genome sintetis ini, tim ilmuwan JCVI tidak menemukan sekuen apa pun di dalam genome sintetisnya yang dapat diidentifikasi sebagai sekuen Mycoplasma capricolum (sel penerima transplantasi); kenyataan ini menunjukkan bahwa genome alamiah Mycoplasma capricolum sudah diganti seluruhnya oleh genome sintetis selama proses transplantasi berlangsung. Sel-sel yang hanya berisi genome sintetis ini ternyata mereplikasi diri, memperbanyak diri dalam bentuk dan sifat yang sama dengan sel semula, dan menunjukkan kemampuan bertumbuh secara logaritmis. Craig Venter menyatakan, “Ini adalah sel sintetis pertama yang telah dibuat, dan kami menyebutnya sintetis karena sel ini seluruhnya dihasilkan dari suatu kromosom sintetis, yang dibuat dari empat botol senyawa kimiawi pada sebuah synthesizer kimiawi, yang diawali oleh informasi di dalam sebuah komputer.” Ketika ditransplantasikan, DNA sintetis ini memang memakai sitoplasma alamiah non-sintetis dari sel-sel penerima.
Penciptaan DNA sintetis, dan proses mentransplantasi DNA sintetis ini ke dalam suatu sel bakteri yang kemudian mampu tumbuh dan mereplikasi diri, yang telah dilakukan oleh tim JCVI, sesungguhnya adalah suatu langkah revolusioner dalam sains biologi molekuler dan teknik perekayasaan genetik. Tim ini menyatakan, “Pendekatan kami dalam menghasilkan genome sintetis berkontras tajam dengan berbagai macam pendekatan lain terhadap perekayasaan genetik yang memodifikasi genome alamiah melalui beraneka ragam susupan, substitusi, atau penghilangan. Karya kami ini menyediakan sebuah bukti atas bekerjanya konsep kami dalam menghasilkan sel-sel yang didasarkan pada sekuen-sekuen genomik yang dirancang oleh komputer. Pemetaan sekuen DNA dari sebuah genome sel memungkinkan instruksi-instruksi genetik penghasil kehidupan disimpan sebagai sebuah data digital. Genome sintetis yang digambarkan di sini memiliki hanya modifikasi yang terbatas jika dibandingkan dengan genome alamiah Mycoplasma mycoides. Bagaimanapun, pendekatan yang kami telah kembangkan ini harus dapat diaplikasikan pada sintesis dan transplantasi lebih banyak genome baru sementara desain genome mengalami kemajuan.”
Tim JCVI menyatakan, “Jika metode yang digambarkan di sini dapat digeneralisasi, maka desain, sintesis, perpaduan, dan transplantasi kromosom sintetis tidak akan lagi menjadi suatu hambatan bagi kemajuan biologi sintetis.” Menyusul hasil karya revolusioner ini, tim JCVI memiliki rencana untuk menerapkan teknik rekayasa genetik yang serupa dalam menghasilkan sel-sel sintetis lainnya: sebuah ganggang yang akan bisa menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan hidrokarbon untuk bahan bakar biologis; produksi vaksin dalam tempo yang lebih cepat; pembersihan air dan limbah air; dan pemakaian energi cahaya untuk menciptakan gas hidrogen dari air.
Tentu langkah revolusioner tim JCVI ini dalam dunia sains biologi molekuler menimbulkan sejumlah masalah filosofis dan etis yang sangat serius. Craig Venter sendiri menyatakan, “Menurut kami, ini adalah sebuah langkah penting, baik secara saintifik maupun secara filosofis. Dengan pasti langkah kami ini telah mengubah pandangan-pandangan saya mengenai definisi tentang kehidupan dan tentang bagaimana kehidupan bekerja.” Tim ini mengantisipasi invensi mereka akan terus mengangkat isu-isu filosofis yang memiliki implikasi sosial dan etis yang luas, dan mereka mendorong wacana yang sinambung tentang ini. Mark Bedau, profesor filsafat dan humanitas, dari Reed College, Oregon, USA, menyatakan, “Kita kini memiliki sebuah kesempatan yang tak pernah ada sebelumnya untuk mempelajari kehidupan. Ketika kita sekarang telah memiliki suatu kendali penuh atas informasi di dalam sebuah genome, tersedialah bagi kita suatu kesempatan fantastis untuk menyibak rahasia-rahasia yang masih tertinggal mengenai bagaimana informasi genetik ini bekerja.” Katanya juga, “Suatu genome buatan telah mempercepat jalannya hari untuk kita tiba pada suatu saat ketika bentuk-bentuk kehidupan dapat seluruhnya dibuat dari bahan-bahan material yang mati. Pada dirinya sendiri, hal ini akan merevitalisasi pertanyaan-pertanyaan abadi tentang signifikansi kehidupan—apa kehidupan itu, mengapa kehidupan itu penting, dan peran apa yang harus dimainkan manusia di masa depan kehidupan?”
Pendek kata, kehidupan dimulai oleh suatu reaksi kimiawi di dalam alam, yang berlangsung natural. Selanjutnya, kehidupan yang sudah dihasilkan oleh senyawa-senyawa kimiawi yang bereaksi harus berkembang, dan hukum selanjutnya yang mengatur perkembangan ini adalah hukum evolusi biologis alamiah, yang bekerja melalui seleksi alamiah. Di mana tempat suatu allah sang pencipta, dalam asal-muasal dan proses kehidupan dalam alam, kelihatan jelas akan makin sempit dan tersisih.
Post a Comment