Header Ads

PILKADA JAKARTA, CALONNYA HARUS DARI GOLONGAN DEWA

Menjelang pemilukada, Jakarta seolah-olah berubah menjadi Dewi Aphrodite –dewi jelita pencuri hati para dewa. Bakal calon gubernur sudah ramai beredar akhir-akhir ini, seperti: anggota DPRD, tokoh betawi, ekonom dan lainnya. Uniknya, beberapa kepala daerah di luar Jakarta pun ikut meramaikannya. Gairah ini memberikan secercah harapan, pilkada 2012 akan menghasilkan pemimpin sekelas dewa sebagai Gubernur DKI 2012-2017.


Jakarta hari ini adalah kota chaos akibat akumulasi 'dosa' pemimpin dan yang dipimpin dari masa ke masa. Siapa pun pemimpinnya, sang gubernur nanti akan mengalami tantangan berat akibat permasalahan yang kompleks. Jakarta butuh tindakan fundamental, drastis dan revolusioner. Hanya pemimpin sekelas 'dewalah' yang bisa melakukan itu.


Dengan kompleksnya masalah Jakarta, pemilih diharapkan cerdas untuk membedakan calon dewa dengan para oportunis penangguk popularitas atau penebar pesona. Pemilih harus tahu akar carut marutnya Jakarta sehingga pilihan tidak jatuh pada 'dewa dungu'. Oleh karenanya, tulisan ini akan mengupas enam pokok perbaikan yang harus dilakukan sang dewa nanti supaya warga bisa 'Enjoy Jakarta'.


Ambang batas, ibarat truk berkapasitas 4 ton, Jakarta mengangkut 4 ton lebih. Akibatnya, truk cepat rusak, lambat dan boros. Jakarta sejak bernama Batavia sudah menjadi pusat aktivitas ekonomi, pemerintahan dan lainnya. Walhasil, penumpukan aktivitas pun terjadi. Perputaran uang mencapai 70 persen dari total se-Indonesia Raya. Tak pelak, orang berduyun-duyun ingin menikmatinya.


Dampaknya, jumlah penduduk meningkat drastis mengakibatkan beban kota yang semakin berat. Jakarta perlu ber-qona'ah, merasa cukup. Aktivitas kota harus mulai dipilah. Mana yang paling profitable. Jasa, jasa dan jasa adalah aktivitas yang sesuai dengan karakter kota sebesar Jakarta. Lihatlah negara lain yang sudah memindahkan ibukotanya dari pusat kota. Pengurangan magnet ini diyakini mampu mengurangi kuantitas dan kualitas 'pendudukan' Jakarta.


Hidup Bersama Risiko


Jakarta adalah kota banjir. Banjir kiriman maupun banjir rob menyebabkan Jakarta 'mati gaya'. Selain itu, Intergovernmental Panel on Climate Change memprediksi pola hujan yang lebih sering dan lebih intensif untuk daerah Asia Tenggara (IPCC-AR4, 2007). Efeknya, ancaman banjir akan semakin sering dan tinggi. Kondisi ini seharusnya dipahami oleh warga. Warga tidak boleh naif ataupun pura-pura dibodohi lagi oleh janji mission impossible. Warga harus berdamai dengan risiko banjir, melalui:


1. Identifikasi titik ancaman (pengecekan tanggul, dam dan alat-alat evakuasi).
2. Mempunyai rencana evakuasi (rute evakuasi, tempat evakuasi dan disaster trial).
3. Memiliki cadangan saat bencana (dana tanggap darurat, jejaring sosial dan diversifikasi matapencaharian yang rawan terhadap banjir).


Hormat kepada Alam


Banjir, polusi, sesak, intrusi air laut, air bersih dan landscape lusuh adalah wajah bopeng Jakarta. Setiap inci lahan sudah diokupasi tanpa pengaturan tegas. Ruang terbuka hijau (RTH) 30 persen sudah tinggal teori. Kurangnya pepohonan pendaur-ulang udara menyebabkan kota berpolusi dan sesak. Air hujan pun kebingungan mencari lahan untuk diresapi. Akibatnya, air berlarian di permukaan menambah volume banjir dan air tanah dangkal menjadi mustahil. Penanganan banjir dengan kanalisasi dan pengambilan air tanah berlebihan memperparah intrusi laut. Tak terkira, air tanah di sekitaran monas pun sudah dicemari oleh air laut. Jadi, wajar jika Jakarta kesulitan air bersih. Hormatilah alam dan bekerjalah dalam batasan alam seharusnya menjadi landasan pembangunan kota ini.


Bekerja samalah dengan kabupaten-kota tetangga karena air tidak mengenal batas administrasi. Rangsanglah kabupaten-kota tetangga secara ekonomi untuk mengamankan Jakarta dari banjir. Libas semua pembangunan gedung atau rumah yang tidak sesuai. Ciptakan RTH 30%. RTH tidak hanya menyumbang udara segar saja, tapi RTH di RT/RW mampu menurunkan 'tensi stress' warga. RTH sempadan bisa mengefektifkan fungsi sungai. RTH kota pun bisa menjadi bedak, lipstik atau maschara wajah kota.


Fasilitas publik 33x, uang, uang dan uang untuk nyaman. Warga harus membayar hanya untuk toilet, tempat rileks, bahkan udara segar (AC). Ironis! Warga dipacu dalam roda setan tanpa kendali dan rest area. Tingkat stress meningkat berproduksi menjadi kriminalitas, korupsi, prostitusi dan tawuran. Tontonlah film 'Emak ingin naik Haji', potret sosial kota ini. Hanya dengan memprioritaskan penyediaan fasilitas publik, masalah-masalah tersebut bisa dikurangi. Fasilitas publik harus menjadi 'wiridan' harian bagi sang dewa supaya tidak terdis-orientasi.


Busway sudah tepat, tapi kapan ada integrasi antar moda yang menyentuh seluruh penjuru kota? Tanyalah kepada calon dewa; berani merealisasikan? Jika ya, pilihlah dia. Sang dewa harus 'jor-joran' memberikan fasilitas untuk balai latihan kerja, informasi lowongan kerja dan lainnya yang meniadakan the 'missing link' antara pendidikan dan dunia kerja. Pilihlah dewa yang berjanji memberi imbal balik pada pembayar pajak melalui pelayanan gratis hak dasar warga seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, kebersihan dan lainnya. Pilihlah dewa yang menjadi penolong kaum homeless ber-KTP Jakarta dengan program rumah susun yang manusiawi. Mereka bukan kaum gypsi atau bangsa nomad. Hargalah yang menyebabkan mereka begitu.


Compact City, Jakarta Kota KB alias Konurbasi-Boros.


Konurbasi adalah kota utama yang menyatu dengan kota-kota sekitarnya. Pembangunan massive secara horizontal menyebabkan pemborosan lahan, biaya infarstuktur sampai ongkos perjalanan. Compact city adalah solusi penghematan semua ini. Vertical development seharusnya mulai diberi insentif. Bangunan/rumah berlantai dibawah dua atau tiga dikenakan disinsentif.


Compact city mendorong penghematan lahan sehingga memperbanyak ruang terbuka. Ruang terbuka tidak perlu penyediaan infrastruktur layaknya ruang terbangun. Panjang jalan, jaringan air bersih, listrik dan gas dapat diperpendek. Jarak antar bangunan yang dekat mendorong warga berjalan kaki. Jalan kaki menjadi nyaman jika di-support oleh fasilitas pedestrian 'ramah' pejalan. Walhasil, warga lebih sehat, polusi berkurang dan tentunya, hemat.


Partisipasi bukan hanya sumbangan. Ya, partisipasi sudah diasumsikan dengan uang. Dampaknya, warga yang sudah menyumbang seringkali apatis dengan kelanjutan program tersebut. Masa bodoh warga pun dimanfaatkan untuk kongkalikong aparat. Keengganan dan kesempitan makna partisipasi menyebabkan program top down approach, tidak tepat sasaran dan seadanya meski beranggaran besar.


Fasilitas sebagai buah dari program pun seringkali cepat rusak bahkan cepat dirusak. Partisipasi adalah menjadi subjek dalam program karena wargalah pemilik program sebenarnya. Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) harus menjadi ujung tombak komunikasi antara aparat dan warga. Sang calon dewa harus berani berjanji untuk menuliskan, mengumumkan, melaksanakan dan mengevaluasi program dalam format yang bisa 'dicawe-cawe' warga. Website, koran dan pusat informasi offline dari kantor gubernur sampai balai RT pun harus memuat ini. Dan, bersiaplah wahai warga dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat online maupun offline berdasarkan isu publik karena power tend to corrupt.


Enam usulan diatas diyakini mampu mengurai benang kusut Kota Jakarta. Usulan ini tentunya tidak berguna jika sang dewa tidak memiliki sifat dasar baik seperti kejujuran, ketegasan, komitmen terhadap hukum dan lainnya. Jika dewa mendatang menerapkan resep ini, diyakini dia akan menjadi Gubernur DKI Jakarta selamanya karena yang lain akan disebut pendahulu atau penggantinya. Nikmat mana lagi yang kau cari selain namamu dikenang sebagai Gubernur Ibukota selamanya. Selamat memilih saudara-saudariku.

Tidak ada komentar