BENANG KUSUT DANA DESA
NEGERI ini masih saja tersandera oleh kebiasaan buruk, yakni rajin memproduksi kebijakan, tetapi malas dalam implementasi. Tak sedikit kebijakan majal dalam upaya menyejahterakan rakyat karena pelaksanaan di lapangan kedodoran.
Paradoks terus saja dipertontonkan para pejabat di berbagai tingkatan. Mereka kerap mengeluh tak dapat optimal menggerakkan roda pembangunan karena terkendala oleh anggaran. Namun, tatkala anggaran telah disediakan negara, mereka berlamban-lamban menyerapnya.
Dari tahun ke tahun serapan anggaran terus menjadi persoalan. Tak cuma lambat, anggaran tak maksimal diserap sehingga pembangunan tak maksimal pula. Persoalan itu bak penyakit kronis yang selalu kambuh meski beragam obat dan berbagai terapi telah diberikan.
Ironisnya lagi, ibarat virus yang menular, penyakit tersebut juga menjangkiti pelaksanaan penyaluran dana desa. Dari sisi kebijakan, dana desa sebagai implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas amat positif. Dengan kebijakan itu, desa diberi dan berwenang mengelola dana dari APBN demi kemaslahatan masyarakat.
Dana desa yang bersumber dari APBN merupakan bentuk kepedulian sekaligus pengakuan negara akan pentingnya desa. Semangat itu begitu bagus sehingga semestinya tiada secuil pun alasan untuk tak selekasnya mengalirkan dana tersebut ke desa.
Fakta di lapangan justru bertolak belakang. Sebagian besar dana desa yang sudah disediakan negara belum bisa disalurkan ke desa. Data Kementerian Keuangan per 31 Agustus 2015 menyebutkan dana desa yang dicairkan ke rekening pemerintah kabupaten atau pemerintah kota telah mencapai Rp16,5 triliun, atau 80% dari total alokasi dalam APBN 2015 sebesar Rp20,7 triliun. Namun, 60%-nya masih mengendap di rekening kabupaten/kota.
Data di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi juga menyebutkan baru 18 ribu desa yang telah menerima dana desa. Jumlah yang amat sedikit jika dibandingkan dengan total desa di Republik ini, yakni 74.093 desa.
Selama dana desa masih mengendap di kabupaten atau kota, ia tidak punya arti bagi desa. Dana desa hanya bermakna ketika ia sudah disalurkan ke desa sehingga perangkat desa dan masyarakat punya modal untuk membangun.
Kita mendesak seluruh pihak yang terkait dengan dana desa untuk tidak main-main. Kita mengingatkan kepada pemerintah kabupaten atau pemerintah kota bahwa ada sanksi jika mereka melanggar ketentuan dalam menyalurkan dana desa. Batas waktu penyaluran tujuh hari kerja setelah dana desa diterima di kas daerah wajib dipatuhi, atau penyaluran dana alokasi umum dan dana bagi hasil kepada daerah ditunda.
Sanksi tegas wajib diterapkan karena dana desa menyangkut uang rakyat dalam jumlah besar. Uang bisa menyilaukan, apalagi bagi mereka yang bersinggungan dengannya. Rupa-rupa modus untuk mengutip keuntungan dari pengelolaan dana desa bukan tak mungkin dilakukan. Bahkan, ada indikasi dana desa menjadi ajang mainan demi memenangi pilkada serentak nanti.
Tersendatnya penyaluran dana desa tak lepas pula dari banyaknya aturan, sementara di sisi yang lain terbatasnya kualitas sumber daya manusia di pemerintahan desa menjadi rintangan. Karena itu, kita mendukung penuh langkah pemerintah menyederhanakan aturan-aturan tersebut. Salah satunya ialah meniadakan rancangan pembangunan jangka menengah desa sebagai salah satu syarat penyaluran dana desa.
Kita ingin dana desa betul-betul menjadi mesin pemberdayaan masyarakat desa. Tak ada satu pun pembenaran untuk menghambat dana itu segera sampai ke desa dan secepatnya digunakan untuk membangun desa.
Paradoks terus saja dipertontonkan para pejabat di berbagai tingkatan. Mereka kerap mengeluh tak dapat optimal menggerakkan roda pembangunan karena terkendala oleh anggaran. Namun, tatkala anggaran telah disediakan negara, mereka berlamban-lamban menyerapnya.
Dari tahun ke tahun serapan anggaran terus menjadi persoalan. Tak cuma lambat, anggaran tak maksimal diserap sehingga pembangunan tak maksimal pula. Persoalan itu bak penyakit kronis yang selalu kambuh meski beragam obat dan berbagai terapi telah diberikan.
Ironisnya lagi, ibarat virus yang menular, penyakit tersebut juga menjangkiti pelaksanaan penyaluran dana desa. Dari sisi kebijakan, dana desa sebagai implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas amat positif. Dengan kebijakan itu, desa diberi dan berwenang mengelola dana dari APBN demi kemaslahatan masyarakat.
Dana desa yang bersumber dari APBN merupakan bentuk kepedulian sekaligus pengakuan negara akan pentingnya desa. Semangat itu begitu bagus sehingga semestinya tiada secuil pun alasan untuk tak selekasnya mengalirkan dana tersebut ke desa.
Fakta di lapangan justru bertolak belakang. Sebagian besar dana desa yang sudah disediakan negara belum bisa disalurkan ke desa. Data Kementerian Keuangan per 31 Agustus 2015 menyebutkan dana desa yang dicairkan ke rekening pemerintah kabupaten atau pemerintah kota telah mencapai Rp16,5 triliun, atau 80% dari total alokasi dalam APBN 2015 sebesar Rp20,7 triliun. Namun, 60%-nya masih mengendap di rekening kabupaten/kota.
Data di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi juga menyebutkan baru 18 ribu desa yang telah menerima dana desa. Jumlah yang amat sedikit jika dibandingkan dengan total desa di Republik ini, yakni 74.093 desa.
Selama dana desa masih mengendap di kabupaten atau kota, ia tidak punya arti bagi desa. Dana desa hanya bermakna ketika ia sudah disalurkan ke desa sehingga perangkat desa dan masyarakat punya modal untuk membangun.
Kita mendesak seluruh pihak yang terkait dengan dana desa untuk tidak main-main. Kita mengingatkan kepada pemerintah kabupaten atau pemerintah kota bahwa ada sanksi jika mereka melanggar ketentuan dalam menyalurkan dana desa. Batas waktu penyaluran tujuh hari kerja setelah dana desa diterima di kas daerah wajib dipatuhi, atau penyaluran dana alokasi umum dan dana bagi hasil kepada daerah ditunda.
Sanksi tegas wajib diterapkan karena dana desa menyangkut uang rakyat dalam jumlah besar. Uang bisa menyilaukan, apalagi bagi mereka yang bersinggungan dengannya. Rupa-rupa modus untuk mengutip keuntungan dari pengelolaan dana desa bukan tak mungkin dilakukan. Bahkan, ada indikasi dana desa menjadi ajang mainan demi memenangi pilkada serentak nanti.
Tersendatnya penyaluran dana desa tak lepas pula dari banyaknya aturan, sementara di sisi yang lain terbatasnya kualitas sumber daya manusia di pemerintahan desa menjadi rintangan. Karena itu, kita mendukung penuh langkah pemerintah menyederhanakan aturan-aturan tersebut. Salah satunya ialah meniadakan rancangan pembangunan jangka menengah desa sebagai salah satu syarat penyaluran dana desa.
Kita ingin dana desa betul-betul menjadi mesin pemberdayaan masyarakat desa. Tak ada satu pun pembenaran untuk menghambat dana itu segera sampai ke desa dan secepatnya digunakan untuk membangun desa.
Post a Comment