JAKARTA- Aksi demonstransi seolah tak bisa lepas dari keseharian warga Jakarta. Setiap hari selalu ada saja unjuk rasa di Ibu Kota. Di hari libur, pemandangan tersebut terkadang masih ada.
Secara konstitusional adalah hak setiap warga negara menyampaikan aspirasinya. Termasuk dengan cara turun ke jalan. Metode semacam ini menjadi populer terutama setelah reformasi bergulir. Aksi demonstransi di mata hukum sah-sah saja dilakukan sepanjang tidak berujung anarki dan melanggar peraturan yang telah ditetapkan.
Diakui atau tidak, dalam beberapa kasus aksi demonstransi acapkali efektif dijadikan alat penekan terhadap kelompok tertentu. Di sisi lain, posisi Jakarta sebagai sentra aktivitas pemerintahan dan bisnis melahirkan akumulasi kepentingan dari berbagai kelompok.
Situasi ini lantas melahirkan tingginya permintaan terhadap aksi demonstransi untuk dijadikan alat memuluskan kepentingan kelompok tertentu. Sejumlah pihak pun lantas membaca peluang ini dan ujung-ujungnya menyediakan jasa pengorganisasian massa untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan. Pada titik inilah prinsip ekonomi supply and demand menemukan relevansinya.
Namun situasi di atas tidak berarti menafikkan adanya aksi demonstransi yang lahir dari idealisme para anak bangsa. Masih banyak aksi-aksi demonstransi di Tanah Air yang murni lahir dari keprihatinan terhadap situasi bangsa dan negara.
Kendati demikian, profesi calo demo sebagai anak haram reformasi memang mulai dilirik sebagai pekerjaan sampingan. Mereka menjadikan demonstrasi tidak semata-mata untuk mengekspresikan aspirasi namun dimanfaatkan menjadi ajang bisnis yang subur.
Sulit memang menemukan orang yang mau mengaku sebagai pengguna jasa makelar demo. Namun mungkin bisa bermanfaat bila kita menelisik “profesi” sang makelar ini untuk menggali bagaimana sebenarnya dia melakukan aksinya itu. Okezone berusaha menelusuri eksistensi dari orang di balik pergerakan aksi demo alias sang makelar demo, berikut sekelumit kisahnya.
Sebut saja Ronald (bukan nama sebenarnya), pria 37 tahun asal Palembang, berperawakan tinggi kurus, kulit sawo matang yang berprofesi sebagai pegawai swasta di bilangan Kuningan ini, ternyata memiliki pekerjaan sampingan sebagai broker demo.
Benar, tugasnya tak lain adalah merencanakan aksi demo, menggalang massa, mengkoordinir demonstran, hingga memberi “amplop” kepada demonstran yang turut serta sebagai imbalannya.
Saat dijumpai di sebuah restoran di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, Ronald mengisahkan dirinya pernah mendapat order dari seorang pengusaha yang mempunyai kepentingan terhadap aksi demo tersebut.
“Pernah waktu itu (2008) user-nya dari pengusaha, langsung menemui saya, minta disiapkan massa 200-an orang. Tuntutannya tertuju kepada salah satu korporat di Jakarta,” tutur Ronald beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, si user tersebut memberikan kuasa penuh kepadanya untuk mencari sekaligus mengkoordinir massa yang diinginkan si user dari profesi atau berbagai kalangan.
“Pokoknya user tahunya beres. Saya survei langsung ke sarangnya, menemui koordinator mereka mulai dari tukang ojek, tukang parkir, dan pedangang asongan untuk join. Mayoritas mereka sih mau-mau saja asalkan benar-benar dijamin sehari itu kebutuhannya,” terang pria berambut ikal yang mengaku sudah dua tahun menggeluti pekerjaanya itu.
Lebih lanjut dia menuturkan, estimasi upah yang diberikan kepada para pendemo cukup bervariasi tergantung kelas atau strata sosial yang dimiliki. Anggaran demo pun disesuaikan setelah terjadi kesepakatan dengan koordinator kelompok pendemo tertentu.
“Kalau (pendemo) yang bawa kendaraan (motor) itu sekira Rp100-150 ribu per kepala (per-orang). Tapi kalau seperti ibu-ibu, pengamen itu cukup Rp50 ribu saja mereka juga sudah mau (menerima),” katanya santai lantas mengisap rokok kretek yang berada di tangannya.
Khusus bagi pendemo yang membawa kendaraan, lanjut dia, agak sedikit lebih tinggi harganya karena biaya tersebut sudah termasuk untuk rokok dan uang bahan bakar bensin. “Plus nasi kotak buat makan siang di luar ongkos itu,” tukasnya. (VANZ
Post a Comment