RUMAH MURAH?.....MIMPI GA YA...
Pemerintah menargetkan rancangan (blue print) pengadaan rumah supermurah tuntas pekan depan. Rumah supermurah yang semula dicanangkan pemerintah seharga Rp5 hingga Rp10 juta dikoreksi menjadi Rp20-26 juta dengan seluas 36 meter per segi.
Program tersebut spontan mendapat respons positif sekaligus sejumlah pertanyaan yang menggelitik. Munculnya pertanyaan tersebut terkait dengan harga rumah yang betul-betul murah di mana sebelumnya sulit dibayangkan. Apakah ini sekadar program untuk menyenangkan masyarakat dengan kemampuan terbatas guna memiliki hunian yang layak kelak? Apakah rumah murah itu untuk warga perdesaan? Apakah pengembang bersedia berpartisipasi mengingat dana yang supermini? Dan, pertanyaan paling krusial bagaimana mekanisme penyediaan lahan terutama di wilayah perkotaan?
Dan, dari mana sumber pembiayaannya? Kita tidak berharap pemerintah menjawab satu per satu tetapi membuktikan bahwa rumah supermurah bisa dihadirkan dan dinikmati masyarakat yang membutuhkan. Program rumah supermurah sejatinya di luar rencana strategis (renstra) Kementerian Perumahan Rakyat. Berawal dari perasaan iba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi masih banyaknya masyarakat yang tinggal di kolong jembatan.
Dalam pengarahannya pada rapat kerja pemerintah bidang ekonomi di Istana Bogor pekan lalu, Presiden menegaskan, tidak akan membiarkan masyarakat hidup di kolong-kolong jembatan, di bantaran sungai atau tempat lain yang tidak sepatutnya.Di sejumlah negara di Asia, seperti China, Vietnam, dan India, program rumah murah sudah lama direalisasikan. Upaya pemerintah menghadirkan rumah supermurah bagi masyarakat tidak mampu wajib kita dukung sepenuhnya.
Apalagi, pemerintah sudah memastikan bahwa salah satu sumber pembiayaan rumah supermurah itu berasal dari penghematan anggaran pada setiap kementerian dan lembaga (K/L) sebesar 10% yang diperkirakan dapat terkumpul sekitar Rp20 triliun per ta-hun. Selain itu, pemerintah akan mengarahkan program corporate social responsibilities (CSR) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada pengadaan hunian bagi masyarakat miskin.
Namun sungguh disayangkan, blue print belum juga tercetak suara penentangan sudah bermunculan dari sejumlah pemerintah daerah yang tidak bersedia menyediakan lahan.Alasannya, program tersebut dianggap menghadirkan kekumuhan.“Masih banyak daerah yang enggan dengan program rumah murah karena dianggap menyediakan perumahan kumuh,” papar Menteri Negara Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa. Alangkah baiknya pemerintah becermin pada program 1.000 Tower.
Program tersebut gagal karena tidak ada sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Bayangkan, dari target 1.000 menara yang akan dibangun sampai saat ini baru 78 menara berhasil dibangun.Dan lebih menyedihkan dari 78 menara tersebut sebanyak 74 menara telantar karena tidak didukung infrastruktur yang memadai. Awalnya, program 1.000 Tower yang diluncurkan pemerintah pusat pada tahun 2007 begitu diminati pengembang. Namun pengembang mengeluhkan ketidakonsistenan pemerintah daerah dalam memberlakukan aturan. Kali ini, kita berharap rumah supermurah jangan hanya dalam impian
Program tersebut spontan mendapat respons positif sekaligus sejumlah pertanyaan yang menggelitik. Munculnya pertanyaan tersebut terkait dengan harga rumah yang betul-betul murah di mana sebelumnya sulit dibayangkan. Apakah ini sekadar program untuk menyenangkan masyarakat dengan kemampuan terbatas guna memiliki hunian yang layak kelak? Apakah rumah murah itu untuk warga perdesaan? Apakah pengembang bersedia berpartisipasi mengingat dana yang supermini? Dan, pertanyaan paling krusial bagaimana mekanisme penyediaan lahan terutama di wilayah perkotaan?
Dan, dari mana sumber pembiayaannya? Kita tidak berharap pemerintah menjawab satu per satu tetapi membuktikan bahwa rumah supermurah bisa dihadirkan dan dinikmati masyarakat yang membutuhkan. Program rumah supermurah sejatinya di luar rencana strategis (renstra) Kementerian Perumahan Rakyat. Berawal dari perasaan iba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi masih banyaknya masyarakat yang tinggal di kolong jembatan.
Dalam pengarahannya pada rapat kerja pemerintah bidang ekonomi di Istana Bogor pekan lalu, Presiden menegaskan, tidak akan membiarkan masyarakat hidup di kolong-kolong jembatan, di bantaran sungai atau tempat lain yang tidak sepatutnya.Di sejumlah negara di Asia, seperti China, Vietnam, dan India, program rumah murah sudah lama direalisasikan. Upaya pemerintah menghadirkan rumah supermurah bagi masyarakat tidak mampu wajib kita dukung sepenuhnya.
Apalagi, pemerintah sudah memastikan bahwa salah satu sumber pembiayaan rumah supermurah itu berasal dari penghematan anggaran pada setiap kementerian dan lembaga (K/L) sebesar 10% yang diperkirakan dapat terkumpul sekitar Rp20 triliun per ta-hun. Selain itu, pemerintah akan mengarahkan program corporate social responsibilities (CSR) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada pengadaan hunian bagi masyarakat miskin.
Namun sungguh disayangkan, blue print belum juga tercetak suara penentangan sudah bermunculan dari sejumlah pemerintah daerah yang tidak bersedia menyediakan lahan.Alasannya, program tersebut dianggap menghadirkan kekumuhan.“Masih banyak daerah yang enggan dengan program rumah murah karena dianggap menyediakan perumahan kumuh,” papar Menteri Negara Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa. Alangkah baiknya pemerintah becermin pada program 1.000 Tower.
Program tersebut gagal karena tidak ada sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Bayangkan, dari target 1.000 menara yang akan dibangun sampai saat ini baru 78 menara berhasil dibangun.Dan lebih menyedihkan dari 78 menara tersebut sebanyak 74 menara telantar karena tidak didukung infrastruktur yang memadai. Awalnya, program 1.000 Tower yang diluncurkan pemerintah pusat pada tahun 2007 begitu diminati pengembang. Namun pengembang mengeluhkan ketidakonsistenan pemerintah daerah dalam memberlakukan aturan. Kali ini, kita berharap rumah supermurah jangan hanya dalam impian
Post a Comment