Kasus Lahan ITB Dibidik KPK
Kota, Korsum
Seperti diberitakan sebelumnya dikoran ini, terkait lahan ITB yang disebut ilegal, bahkan dikatakan dengan adanya beberapa bangunan yang didirikan di ITB tersebut adanya konspirasi jahat, sehingga keuangan negara dirugikan hingga miliaran rupiah. Berbagai upaya hukum pun dilakukan, namun hasilnya tetap sama selalu dimentahkan. Atas hal tersebut, Asep Riyadi mengadukan kasus lahan ITB itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Saya telah mengadukan soal lahan ITB itu ke KPK, bahkan saya didampingi dengan pengacara saya pada hari Selasa (15/8) kemarin. Atas kedatangan saya ke KPK adalah mengadukan bahwa adanya gratifikasi, korupsi, kolusi dan perbuatan kesewenang-wenangan di atas perkebunan Jatinangor yang berlangsung sejak tahun 1965 hingga sekarang,” kata Asep Riyadi, sebagai Aktivis Penyelenggara Pemerintah, saat dikonfirmasi Korsum, Jumat (18/8), melalui teleponselulernya.
Asep memaparkan, hasil dari konsultasi dengan Kementerian Keuangan dan Direktorat Pengelolaan Aset Negara serta Kementerian BPN, bahwa aset lahan Jatinangor itu bukan aset atau barang milik negara. Padahal, selama ini yang diketahui oleh halayak, bahwa lahan eks perkebunan Jatinangor itu sebagai aset provinsi.
“Sebab itulah, saya dengan ahli waris mengecek kebenaran prosedur tersebut sampai ke tingkat penyidikan Polda Jabar, Polda Jabar menetapkan seluruh dasar hukum, menguasai dan menggunakan perkebunan Jatinangor itu dokumen bodong. Disebut dokumen bodong itu hasil dari pemeriksaan Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/BPN. Dimana SK No 17 tahun 1965 yang menjadi dasar terbitnya HGU ke Pemprov Jabar tidak pernah ada alias tidak pernah diketemukan. Hal tersebut lalu di Validasi oleh Polda Jabar,” jelasnya.
Dikatakan Asep, Pemerintah Kanwil ATR/BPN Jabar dan hasil Validasi Polda Jabar dan hasil Berita Acara Pidana (BAP) adalah sama, bahwa dokumen tersebut bodong alias tidak adanya SK No 17 tahun 1965 terkait dengan terbitnya HGU. Yang dipertanyakan Asep, lalu darimana terbit Sk itu?.
“Kemarin pada saat terakhir itu, dalam undang-undang pidana itu ada masa kadaluarsa ditetapkanlah bahwa unsur pidananya terjadi, tetapi karena sudah melampui batas kewenangan kepolisian, sehingga perkara tersebut tidak dilanjutkan. Adapun arahan yang didapat ke pelapor adalah melaporkan orang perorangnya artinya ahli waris harus melaporkan Gubernur Jawa Barat, Melaporkan Bagian Aset dan melaporkan kepala BPN serta yang terkaitnya dan hal tersebut yang diperkuat dan dibenarkan oleh penyidik,” ungkapnya.
Disebutkan Asep, bahwa kontruksi administrasi hukum perkebunan Jatinangor tersebut adalah perbuatan melawan hukum dan itu ada undang-undang pidanannya, namun, karena kadaluarsa pidananya tidak bisa dilanjutkan karena institusi pada saat itu. Tetapi secara perdata itu mutlak lahan perkebunan Jatinangor milik ahli waris bukan milik pemerintah.
“Atas dasar itulah, kami melaporkan ke KPK atas kejahatan yang terjadi di perkebunan Jatinangor, dan ketika melaporkan ke KPK, langsung mendapat arahan dari KPK, dari hasil pemeriksaan dan barang bukti karena kekeliruan dalam administrasi dan melawan hukum tentang pidana korupsi pasti terjadi,” ujarnya.
Terkait dengan kerugian keuangan negara, Asep mengatakan, untuk ITB saja, itu ada lebih dari 20 bangunan pada tahun 2014 saja Rp 162 milyar dalam satu tahun dan ITB itu menggunakan dana tersebut mulai dari tahun 2010. Jadi itu ketika pengaduan ke KPK tersebut pengacara mengatakan negara telah dirugikan Rp 1 triliun lebih.
“Dikatakan Rp 1 triliun tersebut hasil dari hitungan akumulasi pertahun. Dalam laporan kami ke KPK, KPK langsung memerintahkan dan langsung memilah mana kewenangan KPK dalam gratifikasi, Kolusi, korupsi dengan mana yang harus dikembalikan kewenangannya kepada pihak Kejaksaan dan Kepolisian untuk pidana umumnya,” pungkasnya.**[Dady]
Post a Comment